Opini: Jurnalis di Era Digital, Antara Kecepatan dan Ketepatan
- account_circle Agus Subekti
- calendar_month Sel, 5 Agu 2025
- comment 0 komentar

Oleh Agus Subekti, Pemimpin Umum EksposJateng.com
Era digital telah mengubah wajah jurnalisme secara fundamental. Jika dulu proses peliputan hingga penerbitan berita membutuhkan waktu dan verifikasi berlapis, kini semua berlangsung dalam hitungan menit—bahkan detik. Internet, media sosial, dan platform digital lainnya telah menciptakan ruang baru bagi distribusi informasi yang begitu masif, namun sekaligus menghadirkan tantangan besar bagi para jurnalis, terutama dalam menjaga kualitas, integritas, dan kepercayaan publik.
Sebagai Pemimpin Umum EksposJateng.com, saya menyaksikan langsung bagaimana jurnalis dituntut untuk menyesuaikan diri dengan ritme digital yang begitu cepat. Di sisi lain, kecepatan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Informasi yang belum terverifikasi kerap kali lolos ke publik, membuka ruang bagi hoaks, disinformasi, bahkan fitnah yang berdampak sistemik terhadap masyarakat.
Tantangan Pertama: Verifikasi vs Viralitas
Jurnalis kini harus menghadapi dilema antara kecepatan menyajikan informasi dengan kewajiban melakukan verifikasi. Ketika sebuah peristiwa terjadi, media sosial sudah lebih dulu “berteriak” lewat status, foto, dan video yang menyebar begitu cepat. Publik ingin jawaban instan, dan jika media terlambat, mereka bisa dianggap “ketinggalan zaman”.
Namun di sinilah tugas mulia jurnalis diuji: bukan menjadi yang tercepat, tapi menjadi yang paling dapat dipercaya. Dalam praktiknya, banyak jurnalis yang tergoda menyalin informasi dari media sosial tanpa proses verifikasi yang memadai. Ini jelas melanggar kode etik jurnalistik dan membahayakan posisi media sebagai institusi yang seharusnya menjadi penjernih informasi.
Tantangan Kedua: Disrupsi Ekonomi Media
Transformasi digital juga membawa implikasi ekonomi. Banyak media konvensional yang kolaps karena tidak mampu beradaptasi dengan model bisnis baru. Pendapatan dari iklan menurun drastis, sementara jurnalis tetap harus dibayar, dan biaya operasional tetap berjalan.
Kondisi ini mendorong banyak media—terutama lokal—mengandalkan konten viral, clickbait, dan bahkan pesanan berbayar (konten sponsor) demi bertahan hidup. Sekali lagi, ini menjadi tantangan etika. Jurnalis dituntut untuk profesional, namun kondisi ekonomi kerap memaksa kompromi.
Di EksposJateng.com, kami terus berupaya menjaga independensi dan kualitas berita, meskipun tekanan ekonomi sangat nyata. Kami mengedepankan prinsip bahwa media yang baik tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerdaskan.
Tantangan Ketiga: Keamanan Digital dan Serangan Siber
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah soal keamanan digital. Di era digital, jurnalis tidak hanya rentan secara fisik, tetapi juga secara digital. Ancaman doxing, peretasan, penyadapan, hingga pembungkaman melalui UU ITE masih menghantui.
Tak sedikit jurnalis yang dikriminalisasi hanya karena mengungkap fakta. Situasi ini tentu mengancam kebebasan pers dan menggerus keberanian jurnalis untuk bersikap kritis.
Tantangan Keempat: Kompetensi dan Literasi Digital
Tidak semua jurnalis siap menghadapi transformasi digital. Banyak yang gagap teknologi dan belum memahami etika distribusi konten di media sosial. Di sisi lain, banyak pula konten kreator atau influencer yang mengaku “jurnalis”, padahal tidak memiliki bekal etik dan kaidah jurnalistik yang benar.
Oleh karena itu, peningkatan kapasitas jurnalis melalui pelatihan digital, literasi media, dan pemahaman atas regulasi sangat penting untuk menjaga marwah profesi ini.
Penutup: Harapan dan Tanggung Jawab Bersama
Jurnalisme yang baik adalah jurnalisme yang mampu bertahan di tengah gempuran zaman, tanpa kehilangan jati diri dan tanggung jawab sosialnya. Di tengah arus informasi yang serba cepat, jurnalis harus menjadi jangkar kebenaran, bukan sekadar pengganda suara publik.
Tugas ini tidak ringan. Tapi jika dijalankan dengan penuh integritas, kejujuran, dan profesionalisme, maka jurnalisme digital bukan ancaman, melainkan peluang besar untuk memperkuat demokrasi dan mencerdaskan bangsa.
Sebagai penutup, saya ingin mengajak seluruh insan pers, pemerintah, dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga ekosistem informasi yang sehat. Jangan biarkan kebebasan pers dirusak oleh kepentingan jangka pendek dan klik semata. Mari jadikan jurnalisme sebagai pilar yang kokoh dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih cerdas dan bermartabat.
- Penulis: Agus Subekti

Saat ini belum ada komentar